Posisi saat ini: Rumah / Pesan / John Takpor dan 7 Pemain Asal Afrika yang Pernah Beken di Liga Indonesia: Jadi Idola

John Takpor dan 7 Pemain Asal Afrika yang Pernah Beken di Liga Indonesia: Jadi Idola

Penulis:Wartawan Olahraga Tanggal:2025-06-27 09:30:03
Dilihat:0 Pujian
Ilustrasi - Pemain Afrika yang berkarier di Indonesia (Bola.com/Adreansu Titus)

Jakarta - Belum lama ini kabar duka datang. John Tarkpor Sonkaliey, seorang mantan pesepak bola asing di Liga Indonesia, tutup usia. Eks pesepak bola asal Liberia ini tutup usia di Monrovia, Liberia, Senin (23/6/2025).

Persebaya Surabaya, klub yang pernah dibela John Tarkpor, secara resmi mengumumkan kabar duka tersebut. John Tarkpor merupakan pemain yang tidak bisa dipisahkan dari keayaan Persebaya Surabaya pada periode 2009-2011.

John Tarkpor adalah gelandang dengan stamina dan daya jelajah yang luar biasa di lapangan hijau. Perannya sebagai motor penggerak di lini tengah Persebaya begitu sentral dan tidak tergantikan.

Selain berkarier bersama Persebaya Surabaya, John Tarkpor juga pernah bermain dengan klub Indonesia lain, seperti Pesiter Ternate, Persitara Jakarta Utara, Pelita Jaya, dan Persijap Jepara.

John Tarkpor bukan satu-satunya pemain asal Afrika yang meninggalkan kesan bagus saat berkarier di Liga Indonesia. Berikut deretan pemain asal Afrika lain yang juga tampil apik di Indonesia.


Roger Mila

Legenda sepak bola Kamerun, Roger Milla. (Antonio Scorza/ AFP)

 

 

Striker haus gol kelahiran kelahiran 20 Mei 1952 memulai karier di klub Liga Utama Kamerun, Eclair de Douala pada 1965. Selanjutnya, ia malang melintang di beberapa klub Ligue 1 termasuk AS Monaco dan Saint Etienne.

Setelah membela Kamerun di Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, Milla bermain di Liga Indonesia dengan bergabung membela Pelita Jaya. Transfer Milla ke Tanah Air cukup menghebohkan dan ia berstatus sebagai pemain termahal.

Bersama Pelita Jaya, Milla berkolaborasi dengan kompatriotnya, Maboang Kessack dan pemain asal Montenegro, Miodrag Bazovic.

Milla hanya bermain satu musim di Pelita Jaya pada 1994-1995. Ia berhasil menciptakan 13 gol dari 23 pertandingan.

Tahun 1996, Milla berlabuh di Putra Samarinda. Saat membela Putra Samarinda, Milla berhasil menciptakan 18 gol dari 12 pertandingan.


Olinga Atangana

Olinga Atangana (Atas kedua dari kanan) ketika memperkuat Bandung Raya. (Istimewa)

Pemain kelahiran 18 November 1971 pertama kali datang ke Indonesia membela klub Bandung Raya di Liga Indonesia 1994. Selama tiga musim membela Bandung Raya, ia menorehkan banyak prestasi.

Pada musim pertamanya, Olinga membawa Bandung Raya masuk babak 8 besar Liga Indonesia 1994-1995. Sayang, langkah Bandung Raya terhenti setelah hanya menempati peringkat ketiga di bawah PKT Bontang dan Barito Putera.

Selanjutnya, Olinga Atangana mengantarkan Bandung Raya juarai Liga Indonesia musim 1995-1996. Ketika itu, Bandung Raya berhasil mengalahkan PSM Makssar dnegan skor 2-0 di laga final berkat gol Peri Sandria dan Rafni Kotari.

Pada Liga Indonesia musim 1996 dan 1997, Bandung Raya kembali mencapai partai Final. Sayang, Bandung Raya tidak mampu mempertahankan gelar setelah dikalahkan Persebaya Surabaya 1-3.

Laga tersebut merupakan final terakhir Bandung Raya yang akhirnya bubar dan tidak mengikuti kompetisi musim berikutnya. 

Olinga Atangana terkenal sebagai bek tengah tanggung yang susah untuk dilewati pemain depan lawan-lawannya. Ia menjadi rebutan klub-klub papan atas Liga Indonesia ketika itu, karena cepat beradaptasi dan fasih berbahasa Indonesia.

Akhirnya, Persija Jakarta yang beruntung mendapatkan Olinga Atangana. Bersama duetnya di jantung pertahanan Bandung Raya, Nur Alim, ia kembali menorehkan prestasi gemilang dengan mengantarkan Tim Macan Kemayoran menjadi juara Liga Indonesia pada 2001. Pada 2003, ia kembali kolaborasi dengan Nuralim di Pelita KS.


Vata Matanu Garcia

Vata Matanu Garcia kala membela Benfica. (Istimewa)

Pernah membawa Benfica menjadi juara Liga Portugal pada musim 1988-1989 dan 1990-1991 dan juga mengantarkan The Eagles menjadi juara Piala Super Portugal pada 1989, Vata Matanu Garcia kemudian mendarat di Indonesia.

Pada tahun 1996, ia mencoba peruntungan bermain di Indonesia membela Gelora Dewata Bali dalam kompetisi Liga Indonesia. Ketika itu, Vata Matanu bersama Misnadi Amrizal bekerja sama sebagai duet Gelora Dewata di lini depan.

Pengalamannya yang pernah meraih sukses bersama Benfica membuat Vata Matanu diberi kepercayaan sebagai ban kapten dan bebas bermain di berbagai posisi.

Vata kerap diberi kepercayaan sang pelatih untuk bermain di posisi striker, sayap, dan striker kedua di belakang striker utama.

Vata Matanu menjawab kepercayaan dan mencetak 21 gol di Liga Indonesia 1994/1995. Ia membawa Gelora Dewata finis di posisi kelima klasemen wilayah timur.

Walau gagal membawa Gelora Dewata masuk ke babak 8 besar ketika itu, debutnya mendapat pujian dari berbagai pihak, tak kecuali legenda Kamerun yang bermain di Indonesia, Roger Milla.

Performa gemilang bersama Gelora Dewata membuat Vata Matanu masuk dalam striker utama Indonesia All-Stars vs Lazio pada tahun 1996.

Pada musim keduanya bersama Gelora Dewata, Vata Matanu mampu membawa timnya menempati posisi kedua klasemen akhir wilayah Timur Liga Indonesia 1997/1998 dan menorehkan 14 gol. Sayang, Liga Indonesia dihentikan lantaran situasi politik dalam negeri Indonesia yang mencekam.

Selanjutnya, Vata Matanu bergabung Persija Jakarta pada musim 1999-2000. Ia membawa Tim Macan Kemayoran dua kali berturut-turut menjadi semifinalis Liga Indonesia.


Pierre Njanka

Mantan kapten Arema, Pierre Njanka. (Bola.com/Iwan Setiawan)

Pada usianya yang tidak lagi muda, Njanka yang kelahiram 15 Maret 1975 mengikuti jejak seniornya, Roger Milla bermain di Indonesia.

Pierre Njanka singgah di Persija Jakarta pada ISL 2008/2009. Ia bergabung di Tim Macan Kemayoran yang kala itu dilatih Benny Dollo. Ironisnya Persija yang dihuni sederet pemain top justru hanya nangkring di peringkat ketujuh klasemen akhir ISL.

Setahun kemudian, Njanka memutuskan hengkang ke Arema. Keputusan ini disayangkan kelompok suporter The Jakmania yang kadung jatuh cinta pada stopper bertubuh jangkung yang jago duel bola-bola udara itu.

Ya, walau Tim Oranye tida berprestasi, Njanka salah satu pemain yang tampil bersinar di sepanjang musim 2008/2009.

Pada musim perdananya di Arema, Njanka mampu membawa Tim Singo Edan meraih gelar Indonesia Super League (ISL) 2009/2010.

Trofi tersebut terasa spesial bagi Njanka, karena pemain yang bersahabat dengan Samuel Eto'o tersebut bertindak sebagai kapten tim, walau berstatus sebagai pemain asing pendatang baru. Njanka jadi pembimbing pemain muda yang kala itu mendominasi skuad Arema.

aat berseragam Arema, Njanka dikenal sebagai bek tengah yang tangguh dan selalu membuat frustrasi pemain depan lawan.

Njanka hengkang dari Arema karena problem finansial yang melanda klub. Ia sempat berkiprah di kompetisi Liga Primer Indonesia (kompetisi non PSSI) bersama Aceh United pada 2010.

Selanjutnya, Njanka memilih bermain di Mitra Kukar pada 2011/2012. Ia hanya membawa Tim Naga Mekes finis di urutan kesembilan klasemen akhir ISL. 

Njanka akhirnya memutuskan pensiun ketika membela Persisam Samarinda di ISL musim 2012-2013, padahal kontraknya belum berakhir. Ia pensiun dan pulang ke Kamerun setelah mendengar kabar ibunya meninggal dunia.


Zah Rahan

Gelandang serang Madura United, Zah Rahan, dalam aksinya saat melawan Persija dalam Piala Presiden 2019 di Stadion Maguwoharjo, Sleman. (Bola.com/Vincentius Atmaja)

Bisa dibilang pemain asal Liberia ini jadi gelandang asal Afrika tersukses di Indonesia. Dia meraih tiga gelar juara, dengan perincian satu trofi bersama Sriwijaya FC (2007/2009) dan dua dengan seragam Persipura Jayapura (2010/2011 dan 2012/2013).

Tak banyak cerita bagaimana awalnya Zah Rahan bisa bermain di Indonesia. Namun pada usia 19 tahun, dia pertama kali datang dan membela tim kasta kedua, Persekaba Badung.

Kemungkinan dia dibawa pemain asal negaranya yang sudah lebih dulu main di Indonesia, yakni Stephen Weah. Tetapi baru pada 2005, dia dikenal publik sepak bola Indonesia.

Tepatnya saat membela Persekabpas Pasuruan di kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Pada 2006, dia membawa Persekabpas yang awalnya jadi tim medioker bisa sampai semifinal Divisi Utama.

Setelah itu dia membela dua tim besar Sriwijaya FC dan Persipura. Zah Rahan punya skill luar biasa. Bola terlihat lengket di kakinya.

Dia juga punya stamina di atas rata-rata, karena performanya stabil selama 90 menit dengan karakter permainan yang sering melakukan aksi individu.

Pada masa emasnya, Zah Rahan sempat pergi ke Liga Malaysia membela Felda United selama tiga musim. Setelah itu, dia kembali ke Indonesia bermain untuk Madura United dan PSS Sleman. Namun, setelah dari Malaysia, permainannya tak sehebat dulu.


Michael Essien

Mantan bintang Real Madrid dan Chelsea ini sempat menjadi bagian Persib Bandung musim 2017. (Bola.com/M Iqbal Ichsan)

Kedatangan Michael Essien ke Persib Bandung pada musim 2017/2018 jadi kabar menghebohkan. Sebab, Essien merupakan pemain asal Ghana yang punya nama besar di Eropa.

Dia pernah membela tim raksasa Eropa, seperti Chelsea, Real Madrid, hingga AC Milan.

Namun Essien datang ke Persib dengan kondisi yang tak sebugar dulu. Maklum, waktu itu usianya sudah 35 tahun dan sempat mengalami cedera lutut.

Awalnya dia sering hanya jadi pelengkap. Namun, pengalamannya tetap berguna di lapangan. Essien bukan jadi gelandang petarung, tapi pengatur irama permainan tim.

Dalam satu musim, Essien yang tampil dalam 29 laga dan mencetak 5 gol. Essien hanya bertahan satu musim di Persib. Setelah itu dia hengkang dan sempat bermain di Azerbaijani hingga 2020.

Meski hanya sejenak di Persib, Essien tetap meninggalkan kesan positif. Dia beberapa kali posting foto saat bermain di Bandung. Sehingga dia ikut mempromosikan sepak bola Indonesia.


Makan Konate

Pemain Barito Putera, Makan Konate mengontrol bola saat laga lanjutan BRI Liga 1 2023/2024 antara Persija Jakarta melawan Barito Putera di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi, Sabtu (07/10/2023). (Bola.com/Bagaskara Lazuardi)

Gelandang serang asal Mali tersebut bisa dibilang mengubah jalan hidupnya di Indonesia. Dari data Transfermarkt, sebelumnya Konate bermain di kompetisi Mali dan Libya.

Pada 2012, dia merantau ke Indonesia meski belum memiliki klub. Ketika main bola di Tengerang bersama pemain asal Afrika, dia ditemukan pelatih PSPS Pakanbaru, Mundari Karya.

Sejak saat itu, kariernya langsung melesat. Dia bermain untuk PSPS dan Barito Putera masing-masing setengah musim. Itu sudah cukup mengantarnya membela tim papan atas Persib Bandung musim 2014.

Dia juga membawa tim asal Bandung itu jadi juara ISL 2014. Selain itu, dia merasakan gelar juara Piala Presiden dengan Persib dan Arema FC.

Ketika namanya melambung, dia sempat hijrah ke Liga Malaysia membela T-Team. Namun, Konate kembali dengan membela tim besar seperti Persebaya, Persija Jakarta.

Konate sempat bermain untuk RANS Nusantara. Pada usia 30 tahun, performa Konate mulai memperlihatkan tanda penurunan.

Komentar

Kirim komentar
Galat kode pemeriksaan, silakan masukkan kembali
avatar

{{ nickname }}

{{ comment.created_at }}

{{ comment.content }}

IP: {{ comment.ip_addr }}
{{ comment.likes }}